Cerita Sore di STB Maros

nur1

 Kamis, 30 Agustus 2012. Menjelang sore, kami dari Skholatanpabatas dan teman-teman SEC (Salewangan English Community Maros) berkumpul di rumah Ibu Yuli yang terletak di Jl. Poros Belang-Belang km 6 Maros yang juga menjadi sekertariat Rumah Skhola Maros. Agenda hari itu menjadi cerita tersendiri bagi para relawan maupun calon relawan yang ada di STB Maros. Lebih tepatnya sebagai ajang silaturrahmi, menyatukan visi dan misi serta mengenalkan lebih jauh seperti apa Skholatanpabatas. Merupakan kebanggaan bagi saya berada di antara orang-orang yang peduli dan mau meluangkan waktu untuk belajar bersama.

Kegiatan kami diawali dengan perkenalan. Perkenalan yang cukup berkesan, kerena dari perkenalan itu kami jadi tahu seperti apa pandangan dan keinginan kami masing-masing, yang sebenarnya memiliki tujuan yang sama

Selanjutnya kami menyaksikan pemutaran sekilas profil dari Skholatanpabatas, muncul perasaan kagum melihat berbagai kegiatan yang selama ini telah dilakukan oleh STB dan saya yakin hal itu dirasakan pula oleh teman-teman yang lain. Saya mulai berpikir bahwa ternyata keterbatasan tidak dapat menjadi alasan kita untuk memberikan hal-hal terbaik bagi orang-orang yang ada di sekeliling kita. Dari cerita-cerita para sahabat skhola di beberapa daerah yang sempat saya dengar, saya bisa menyimpulkan bahwa niat yang baik, tekad dan kerjasama menjadi modal utama setiap proses pembelajaran kita di Skholatanpabatas.

Hal yang paling menarik adalah pemutaran film. Kami diminta untuk mengomentari film yang mengangkat sisi sosial dan pendidikan (Rasisme dan Gangster) di kalangan remaja Amerika Serikat yang juga mulai melanda Indonesia, kemudian menebak akhir dari film itu yang memang sengaja tidak diselesaikan. Saya kembali melihat antusiasme teman-teman, kritik serta komentar-komentar cerdas yang semakin membangkitkan semangat saya untuk ikut belajar di Skholatanpabatas.

Berikut beberapa komentar teman-teman tentang film dan akhir kisah film tersebut :

“Guru melakukan pedekatan emosional kepada siswa atas masalah dan trauma psikologi yang dialami agar dapat mengubah pola pikir tentang pentingnya saling menghargai meski terjadi perbedaan ras diantara siswa. Ending film, tersadarkannya siswa dan masyarakat akan perbedaan ras yang dapat menyatukan mereka terlepas dari latar belakang sejarahnya.”

“Memang tidak mudah mengubah karakter yang telah mengakar karenanya dibutuhkan keseriusan dan kerja keras. Dalam film ini saya melihat bahwa seorang guru harus fleksibel dalam menghadapi masalah-masalah anak didiknya, harus kreatif mencari solusi dan berusaha untuk masuk dalam dunia anak didiknya. Pada lanjutan film ini saya optimis bahwa konflik yang ada dapat terselesaikan apabila ada hubungan/sinerginya hubungan para pendidik., misalnya orang tua anak dan semua pihak yang benar-benar serius ingin bersama-sama memecahkan masalah”

Dalam perjalanan wisata, guru mencoba membuat game yang membagi mereka dalam beberapa kelompok yang setiap kelompok berbeda ras-nya, agar bisa saling dekat satu sama lain. Sebenanrnya mereka anak baik, cuman keadaan yang membuat mereka menjadi “LIAR”sebagai cerminan dari orang tua mereka. Setelah perjalanan tersebut, walaupun mereka tidak langsung saling bersalaman tapi mereka tahu bahwa temannya sebenarnya orang baik dan selanjutnya usaha yang dilakukan oleh guru tersebut akhirnya memuahkan hasil, mereka bisa lebih saling mengenal satu sama lain”

“Siswa saling bekerjasama untuk membentuk organisasi sosial yang menjadi wadah pemersatu bagi mereka dan organisasi ini berkembang pesat dalam skala nasional dan itu terjadi setelah guru tersebut sudah tidak mengajar di sekolah itu”

‘Guru tersebut berhasil mempersatukan kekerabatan mereka walau membutuhkan kerja keras lagi untuk mempertahankannya. Sedikit solusi, sebenanrnya guru tersebut tidak perlu repot kesana kemari untuk meminta bantuan dana pendidikan bagi muridnya kepada pemerintah, lebih baik dia menjual kalung miliknya untuk menalangi dana pendidikan tersebut”

“Menurut saya ending film ini, siswa yang selama ini tidak peduli dengan pendidikan mereka namun dengan kehadiran guru yang penuh dengan kesabaran dan kreatifitasnya sehingga mampu merubah karakter sebagai anak geng yang kurang baik menjadi siswa yang terpelajar dan bertanggungjawab”

“United in different. Siswa di kelas tersebut membentuk geng baru dimana mereka semua berbeda suku dan ras kemudian geng ini akan menjadi jembatan bagi geng besar diluar sana untuk tidak lagi saling berseteru melainkan hidup damai dengan saling menghargai satu sama lain. Intinya, ending of this story , guru berhasil menyadarkan mereka melalui pendekatan historical bahwa mereka sebenanrnya sama ingin bertahan hidup dan semuanya akan menjadi mudah jika dilakukan dengan cara damai”

Belajar. Satu kata yang amat berkesan dalam memori saya. Di Skholatanpabatas kami belajar, bukan memberi. Mungkin dapat dikatakan belajar memahami keadaan, belajar dari hidup orang lain dan sama-sama belajar. Saya sangat berharap kedepannya, makin banyak generasi muda khususnya di Maros yang sadar dan ikut berkontribusi untuk perubahan yang lebih baik.

“Skholatanpabatas makes you sane in crazy world”

Written by Nur Alfyfadhilah sebagai Relawan Skhola

Join Program Skholatanpabatas dan Salewangang English Community Workshop

Similar Posts